Di sebuah sekolah di tengah kota, ada kegelisahan yang mulai tumbuh di hati para guru. Mereka melihat bahwa anak-anak lebih asyik menatap layar ponsel daripada membuka halaman buku. Waktu berlalu, dan kebiasaan membaca serta menulis perlahan terkikis oleh arus digital yang deras. Geraka Literasi Sekolah (GLS) bukan sekadar program, tapi sebuah perlawanan halus terhadap kelalaian budaya baca. tim literasi memulainya dari hal-hal kecil: 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai. Buku-buku ringan dan menarik disebar di sudut baca kelas, koridor, dan taman sekolah. Bahkan kantin pun punya rak buku mini.
Namun, GLS tidak hanya berhenti pada membaca. Di pekan-pekan berikutnya, siswa diminta menulis jurnal harian, menanggapi bacaan mereka. Mereka diberi ruang untuk mengekspresikan pikiran lewat puisi, cerpen, bahkan komik. Kegiatan ini mengalirkan energi baru—anak-anak yang dulu pendiam mulai berani menulis dan membacakan karyanya di depan teman-teman.Untuk membuat gerakan ini lebih hidup, sekolah ingin mengadakan Festival Literasi. Di sinilah siswa menunjukkan karya tulis mereka, ada yang membacakan puisi, ada yang mempresentasikan resensi buku favorit, dan ada pula yang membuat podcast tentang cerita rakyat lokal. Literasi menjadi sesuatu yang dekat dan menyenangkan.
GLS juga dirancang agar inklusif—semua siswa, tanpa memandang latar belakang, merasa punya tempat. Bahkan siswa dengan kebutuhan khusus ikut serta, melalui media visual atau audio. Ini membuat sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat berkarya dan bertumbuh. Namun tentu bukan tanpa tantangan. Beberapa siswa masih enggan membaca, guru pun tak semua langsung antusias. Tapi berkat konsistensi, dukungan kepala sekolah, dan kreativitas dalam pelaksanaan, GLS tumbuh menjadi budaya, bukan hanya program tahunan.
Kini, sekolah itu tak lagi sama. Siswa lebih terbuka pikirannya, kaya kosakatanya, dan lebih percaya diri menulis serta berbicara. Mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga kaya secara literasi. Gerakan Literasi Sekolah adalah api kecil yang jika dirawat, bisa menjadi obor penerang masa depan. Ia tidak bisa dipaksakan, tapi bisa ditularkan. Ia bukan beban, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan diri sendiri. Dan siapa tahu? Mungkin dari satu tulisan sederhana anak-anak hari ini, akan lahir penulis besar, pemimpin masa depan, atau sekadar manusia bijak yang tahu bahwa kata-kata punya kekuatan.